Dari empat musim sebagai pelatih Barcelona, Pep Guardiola dua kali
membawa klub tersebut menjuarai Liga Champions dengan membuat Manchester
United terlihat seperti siswa SSB di partai final. Tapi dalam kurun
waktu yang sama, Pep juga dua kali melihat timnya tersingkir di fase
gugur kompetisi tertinggl sepakbola Eropa tersebut.
Di tahun
2010, Barcelona kalah di semifinal dengan agregat 2-3 dari Inter Milan.
Di tahun 2012 Barcelona juga kalah di babak yang sama dengan agregat
yang identik dari Chelsea yang juga menjadi juara.
Benang merah
dari kekalahan Barcelona-nya Pep dalam 2 kesempatan tersebut adalah,
baik Inter dan Chelsea menerapkan strategi bertahan dalam derajat
tertentu. Baik Inter dan Chelsea bermain kandang dalam leg pertama, di
mana kedua tim mengandalkan counter-attack cepat dan meraih kemenangan (3-1 di Giuseppe Meazza dan 1-0 di Stamford Bridge). Keduanya memarkir bus di leg kedua untuk mengamankan skor. Bahkan dalam kondisi tertinggal 0-2 di Camp Nou sebelum Ramires mencetak away goal, Chelsea tetap menumpuk pemain di depan kotak penalti dan mengharapkan serangan balik.
Pep
bukanlah orang bodoh, maka ia pasti sadar bahwa formula tiki-taka
mengerikan yang ia sempurnakan tidak punya antidot selain strategi
koordinasi pertahanan yang rapat dan solid. Jika Pep adalah seorang programmer pembuat virus komputer, maka Jose Mourinho dan Roberto Di Matteo adalah para ahli koding Norton yang menciptakan antivirus-nya.
Maka
ketika Pep yang sekarang menukangi Bayern Muenchen bertemu dengan
monster mutasi genetik dalam wujud 11 pemain berbaju blaugrana dari
Catalan, sebagai pencipta dari monster tersebut semestinya Pep tahu
bagaimana cara untuk menjinakkannya. Apalagi ia sudah pernah melihat
contoh sukses di masa lalu bagaimana hal tersebut dilakukan.
Tapi skor 3-0 di leg
pertama menunjukkan bahwa Pep tidak belajar dari pengalamannya sendiri.
Memang Barcelona tidak mencetak gol sampai menit 77 dan hanya sihir
magis Lionel Messi saja yang membuat akhirnya gawang Bayern jebol. Namun
sesungguhnya taktik Pep sudah terhitung nekat dari awal dengan
menempatkan 3 bek di belakang untuk melakukan man-to-man marking kepada
Messi, Luis Suarez, dan Neymar. Hanya refleks dan kemampuan Manuel
Neuer sebagai kiper saja yang membuat Barcelona butuh begitu lama
sebelum mencetak gol.
Nekatnya Pep masih terlihat bahkan setelah
ketinggalan 2 gol. Oke, sepasang gol Messi bisa diatributkan skill
individu. Tapi dalam kondisi tertinggal 2 gol di kandang lawan dan
dengan leg kedua masih menunggu, Pep tetap menekan timnya untuk
menyerang yang terlihat dari high defensive line, keputusan yang berakibat pada gol ketiga Barcelona.
SITUS AGEN TARUHAN JUDI BOLA SBOBETONLINE TERPERCAYA ,
AGEN JUDI BOLA ONLINE TERPERCAYA ,
SITUS TARUHAN JUDI BOLA ONLINE TERPERCAYA ,
AGEN TARUHAN JUDI BOLA ONLINE TERPERCAYA ,
agen sbobet terpercaya ,
AGEN JUDI CASINO ONLINE TERPERCAYA
Skor
3-0 untuk Barcelona adalah hasil pekan lalu. Kita tahu bahwa tadi malam
Bayern menang 3-2 meski secara agregat mereka kalah 3-5. Lalu mengapa
saya membuka kolom ini dengan bahasan soal pertandingan yang terdahulu
alih-alih yang lebih anyar? Karena hasil pertandingan semalam hanyalah
materi suplemen semata dari pertandingan leg pertama yang menggerus
reputasi Pep Guardiola sebagai ahli taktik.
Pep membela diri usai
leg pertama di Camp Nou dengan mengatakan bahwa tidak mungkin dirinya
membawa Bayern untuk bermain bertahan. Ia merasa bahwa bermain defensif
bukan bagian dari DNA sepakbolanya, dan timnya pun tidak terbiasa untuk
memarkir bus. Para ekstremis dan fundamentalis sepakbola menganggap
pernyataan Pep ini sebagai sebuah sabda agung. Teman baik saya, Justin
Lhaksana, mengatakan bahwa sikap Pep ini menunjukkan bahwa ia punya “dignity”, tidak seperti pelatih pragmatis pada umumnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar